"Aku ingin mencintaimu dengan sederhana...".
Baik "kata yang tak sempat diucapkan kayu kepada api", atau "isyarat yang tak sempat disampaikan awan kepada hujan"—sampai jadi abu, atau tiada—memaknakan cinta pada apa adanya; tidak perlu diungkap, tidak menuntut balasan. Tulus.
Barangkali Sapardi juga sudah selesa dengan rutin kesukaannya dahulu: melepak di kedai-kedai kopi di mall, memerhatikan hiruk-pikuk kehidupan dari kejauhan—dalam kesederhanaan masanya sendiri. Puisi-puisi Sapardi tidak pernah tergesa-gesa, bahkan sentiasa terasa akrab dengan pembacanya; seperti teman karib yang datang mengoceh tentang lelah hidupnya setelah bertahun-tahun tidak bertemu. Tidak ada janggal dan jengkel.
Namun cinta tidak selalunya sederhana. Sering saja ia hadir dengan penuh ketiba-tibaan, tanpa sempat bersapa kenal. Ribut. Sehingga kita tidak pernah peduli untuk menandakan detik-detik yang menjadi batu sempadan antara kita dan hal-hal yang mungkin.
Dan kita bukanlah hal-hal yang mungkin.
Selamat ulang tahun, sayang. Seperti halnya dengan omelan sehari-harimu, post ini juga datang lewat; kan keindahan yang mengasyikkan itu buat manusia alpa ;)