Dalam menjadi dewasa, perlahan-lahan kita mula belajar tentang kewujudan pertanyaan-pertanyaan yang sebaiknya dibiarkan tidak terluah; lebih-lebih lagi apabila pertanyaan itu bersangkutan dengan hal-hal yang telah lewat.
Sudahnya kita tinggalkan saja pertanyaan itu berhujung dengan tanda tanya, tanpa ada noktah yang menuntaskannya. Kadang-kadang, ianya merupakan jalan terbaik. Noktah selalunya tidak terus mematikan pertanyaan, bahkan melahirkan pertanyaan-pertanyaan baru yang melelahkan.
Sudahnya kita tinggalkan saja pertanyaan itu berhujung dengan tanda tanya, tanpa ada noktah yang menuntaskannya. Kadang-kadang, ianya merupakan jalan terbaik. Noktah selalunya tidak terus mematikan pertanyaan, bahkan melahirkan pertanyaan-pertanyaan baru yang melelahkan.
Namun pertanyaan yang dibiarkan akan terus tinggal sebagai pertanyaan--bergentayangan di siling asbestos ini, jika tidakpun, ikut sama berpusing mengikut kipas. Sayangnya, kipas tidaklah punya upaya untuk menghalau pertanyaan itu. Tidak seperti angin yang melarikan daun-daun tua yang luruh.
Di siang harinya, pertanyaan-pertanyaan yang terpendam itu mungkin saja dikambus kebingitan seharian; dihambat tugasmu selaku seorang warga yang harus berdepan dengan masyarakatnya. Ia melelahkan, tetapi jika tidak ada persinggungan, manakan pula makanan hendak terhidang di atas meja.
Di siang harinya, pertanyaan-pertanyaan yang terpendam itu mungkin saja dikambus kebingitan seharian; dihambat tugasmu selaku seorang warga yang harus berdepan dengan masyarakatnya. Ia melelahkan, tetapi jika tidak ada persinggungan, manakan pula makanan hendak terhidang di atas meja.
Tibanya malam, ketika kamu bersendirian di dalam rumah kosong ini, pertanyaan-pertanyaan yang awalnya tertimbus itu meronta-ronta keluar.
Ia mengheret bersamanya sebuah ketakutan; menghalang kamu untuk menyoal pertanyaan itu walaupun secara diam-diam di dalam benakmu. Bimbang kalau-kalau waktu terleka nanti ia terlepas dari bibirmu. Dan kadang-kadang, pertanyaan itu tanpa persetujuan terpacul sendiri dari raut wajahmu.
"Ada kesepian yang terpancar dari wajah perempuan itu. Tidakkah kau nampak?"
Pernah sekali kawanku membangkitkan pertanyaan itu. Kami berpandangan sesama sendiri dan cepat-cepat menoleh ke arah lain. Pengakuan tanpa rela, lewat kecurangan tubuh, tidak harus diperihalkan dengan kata-kata. Ia perlu dipulangkan kembali dan disimpan rapi oleh empunya badan.
Aku bimbang juga jika kawanku perasan badai yang menghempas pesisir hati ini. Mungkin sepertiku, dia juga buat-buat tak nampak. Mungkin sepertiku, dia juga bimbang jikalau ada yang terlepas dari wajahnya.
Dan mungkin, seperti aku, dia juga diam-diam bertanya: apakah bibirmu masih bergetar ketika namaku mencuit cuping telingamu?
Tiada ulasan:
Catat Ulasan