Selasa, 20 Mei 2014

surat buat Aletheia

Buat duniaku yang senantiasa mencemaskan,

Ketahuilah ketika aku sedang menuliskan surat ini, aku sedang bersendirian ditemani angan-angan yang rapuhnya seperti kayu yang sedang dimakan oleh anai-anai. Ia berlangsung serentak tanpa ada senjang-senjang yang memisahkan antara keduanya -- aku, juga kamu, serta makna-makna yang runtuh di hadapan kita berdua.

Ingatkah kamu akan kisah yang pernah aku ceritakan kepadamu lama dahulu? Kisah tentang seorang gila yang tidak putus-putus menempik zamannya yang kosong ini. Teriakan si gila itu -- jika kamu masih mengingatinya -- disahut dengan derai tawa mereka yang berada di sekelilingnya. Ah, masakan ia tidak diketawakan. Si gila itu membawa suatu khabar yang langsung tidak masuk akal.

"Kita semua... para pembunuh Tuhan." Tuduhan, sekaligus pengakuan yang dibawa oleh si gila tersebut mengungkapkan tentang zaman yang kehilangan ruhnya. Lebih tepat lagi, ia menengking manusia-manusia yang penuh dengan gejolak-gejolak keinginan tetapi tidak sekalipun pernah cuba untuk memahaminya. Manusia-manusia jalang ini membina pengertiannya di sekeliling timbunan-timbunan jasad kaku yang menjaja dongeng-dongeng kebenaran yang tidak langsung pernah ditemukan hakikatnya.

Aletheia,

Kata-kata si gila itu ada benarnya. Zaman ini adalah zaman yang tidak beragama, ia kosong sekosong-kosongnya. Sebuah lohong hitam yang menelan semua kesunyian sehinggakan yang tertinggal cumalah kebisingan-kebisingan yang membingitkan. Aku, dan juga mereka. Kami semua adalah batang-batang tubuh yang dipinggirkan oleh diri sendiri -- dikerjakan sehari-hari oleh penghukum-penghukum yang membeberkan tentang 'kehidupan-kehidupan' yang seharusnya diikuti untuk mencapai kebahagiaan.

Mengapa, Aletheia? Mengapa sampai begitu rumit sekali untuk mendekatimu? Seringkali, aku berfikir, dan fikiran aku melayang kepadamu. Bahkan, fikiran aku itu sendiri adalah kamu! Namun, biarpun demikian, kamu tetap menjadi hal yang berada di luar diriku. Sehinggakan kadangkala; nafasku ini tidak dihela olehku, air mata ini adalah daripada kesedihan orang lain, dan gementar yang hinggap ini tidak datang dari kecemasanku sendiri.

Aletheia,

Aku menata kerinduanku kepadamu lewat doa-doa yang aku sisipkan saban malam sebelum membiarkan kesedaranku hanyut di tengah-tengah lautan tidur yang tidak berjejak mimpi. Kerinduanku adalah seperti jeritan seorang bisu yang berdiri di tengah kerumunan manusia. Begitu nyaring sekali sehinggakan kebisingan-kebisingan yang tidak punya nurani itu turut tersentak dan bungkam. Kerinduanku juga umpama desir angin yang menyapu telingamu. Ia melewatimu dengan senyap seraya menyampaikan pesan-pesan kesedaranku sebelum lenyap bersama kesunyian.

Kamu merupakan puisi yang menyanyikan dirinya sendiri lewat bahasa yang bertutur tanpa memerlukan sepatah kata pun didalamnya.

Kerana kamu, adalah Aletheia.

Tiada ulasan:

Catat Ulasan